PESANTREN AN-NADZIR

Selasa, 10 Februari 2009

KH Syamsuri Madjid

KH Syamsuri Madjid (Abah Batam) alias Syech Muhammad Al Mahdi Abdullah,
Pimpinan Majelis Zikir An Nadzir
Meninggal dunia di Jakarta Sabtu, 12 Agustus 2006 pukul 14:53:55
Dalam usia 83 tahun. Dimakamkan di Pondok Pesantren An Nadzir Dumai.

Beliau memiliki sebuah tongkat yang sangat mirip dengan tongkat Rasulullah SAW. Entah siapa yang ditaqdirkan Allah untuk memegang tongkat wasiat beliau ini, tapi yang jelas sekarang ini saya simpan ditempat yang aman.
Jika ada yang merasa mampu memegang tongkat ini atau berminat terhadap tongkat ini silakan hubungi SMS 021 70068092. Jazakallah. Selamat berjuang menghidupkan kalimat thayyibah dan sunnah Rasulullah SAW.

Bukan sembarang tongkat

Setelah “mondok” dan “ngaji” di Madyan selama sepuluh tahun di kediaman Nabi Syuaeb as, Nabi Musa as berangkat lagi ke Mesir .
Di tengah perjalanan, di sekitar Bukit Thursina, ketika Nabi Musa as dan keluarganya kedinginan beliau melihat seberkas cahaya di kejauhan, kemudian Nabi Musa as mendekati cahaya tersebut yang ternyata cahaya itu adalah isyarat panggilan ALLAH untuknya.
Disana terjadi lah dialog antara Nabi Musa as dengan Dzat yang Maha Agung ALLAH Azza Wajalla.
Ketika itu Allah bertanya kepada Nabi Musa as.“Apa itu di tanganmu ya Musa” ALLAH bertanya, maka Nabi Musa as. menjawab ” Ya, Allah ini tongkatku”.
Kemudian ALLAH bertanya lagi.“Wahai Musa apa guna tongkatmu itu?”,
Maka jawab Nabi Musa as.” Ya, ALLAH dengan tongkat ini aku bertelekan, dengan nya aku menghalau ternak, dan dengannya aku mengambil daun-daun untuk makan ternak dan banyak lagi kegunaan lainnya”
Selanjutnya dari kejadian tersebut, menurut yang saya dengar dalam sebuah muzakarah, ada beberapa palajaran yang dapat kita petik antara lain :
Pertama, Allah bertanya, bukan ALLAH tidak tahu, tetapi ALLAH ingin agar Nabi Musa as dan seluruh manusia setelahnya mengetahui.
Kedua, tentang keyakinan manusia terhadap yang dzahir, sebagai mana Nabi Musa as yang begitu yakin kepada tongkatnya.
Nabi Musa as begitu yakin “tongkat” nyalah yang memberikan bermanfaat baginya, sehingga ALLAH yg cuma bertanya satu pertanyaan dijawab oleh Nabi Musa dengan lebih dari 3 jawaban.
Kemudian ALLAH memerintahkan Nabi Musa A.s. untuk membuang tongkatnya “Wahai Musa, sekarang kamu lemparkan tongkatmu”.
Dan ketika Nabi Musa as melemparkan tongkatnya, berubahlah tongkat itu menjadi ular, tongkat yang tadi dibanggakan oleh Nabi Musa as dan diyakini bisa memberikan manfaat baginya, berubah menjadi makhluk yang justru menakutkan dan akan mendatangkan mudharat baginya.
Satu pelajaran lagi, tongkat itu ternyata tidak bisa mendatangkan manfaat apapun tanpa izin ALLAH, haqikatnya makhluk tidak bisa memberikan manfaat tanpa izin ALLAH.
Karena fitrahnya sebagai manusia, Nabi Musa as. menjadi begitu ketakutan melihat tongkatnya yang telah berubah menjadi ular yang sangat besarlagi lincah. (dalam sebuah riwayat ular tersebut dikisahkan sebesar pohon kelapa bahkan mungkin lebih besar)
Kemudian ALLAH perintahkan lagi agar Nabi Musa as menangkap ular itu, bahkan ALLAH perintah kan Nabi Musa as menangkap ular itu, di bagian mulutnya pula.
Walaupun dipenuhi rasa takut, namun Nabi Musa as berusaha untuk taat, karena yang memerintah adalah Dzat Yang Maha Jalal, Maha Hebat, Yang Menguasai Dua ALAM, Dunia dan Akherat, ular itu ditangkap oleh Nabi Musa as tepat dimulutnya, maka berubahlah ular itu kembali menjadi tongkat, tanpa satu gigitan ular pun yang melukai Nabi Musa as.
Satu pelajaran lagi, bahwa ular (makhluk) tidak bisa mendatangkan mudharat, tanpa izin ALLAH.
Pelajaran sesungguhnya yang ingin ALLAH berikan kepada Nabi Musa as dan kepada kita manusia adalah kurang lebih sebagai berikut :
Tentang Keimanan- Makhluk tidak bisa memberikan manfaat dan tidak bisa mendatang mudharath tanpa izin ALLAH.- ALLAH tidak ingin ada kebesaran makhluk dalam hati kita, sebagaimana ada kebesaran tongkat dalam hati Nabi Musa as- ALLAH tidak ingin, kita meyakini yang Dzahir, makhluk, yang tampak mata.- ALLAH ingin, dalam hati kita hanya ada kebesaran NYA saja.- ALLAH ingin, kalimat Iman, Laa Ilahaa Illallaah, ada didalam hati-hati seluruh ummat manusia.- Dan ALLAH ingin manusia meyakini yang tidak tampak mata, Yang Ghoib, meyakini yang tidak tampak itulah IMAN.
- Dan tongkat itu memang cuma Tongkat BIASA, yang LUAR Biasa itu ALLAH. Karena tongkat itu menjadi luar BIASA karena izin ALLAH Subhaanahuu Wata’ala

Mengenal Jamaah An-Nadzir

Tiada lain tulisan ini di buat selain untuk lebih mengenal keanekaragaman kelompok2 maupun haraqah dalam islam sebagai khazanah dan keindahan islam . Tulisan dibawah diberitakan oleh salahsatu televisi swasta pada tahun lalu, disaat perdebatan kontroversi penetapan shalat idhul fitri tahun 2007.
Dibawah ini adalah salah satu kutipan mengenai jamaah ini.
Ajaran An-Nadzir ini masuk ke Kabupaten Gowa melalui Syech Muhammad Al Mahdi Abdullah, imam kaum An-Nadzir pada tahun 1998. Jamaah ini, berbeda dengan jemaah lainnya karena mereka mengenakan jubah dan sorban berwarna hitam yang dipadukan dengan ikatan kepala berwarna putih.
Jamaah kelompok ini mudah dikenali dari penampilannya seperti berambut pirang dengan panjang rambut sebatas bahu, menggunakan sorban, mengenakan jubah hitam,sedangkan penduduk sekitar hanya mengenakan baju koko dan jubah berwarna putih.
Demikian pula jemaah wanita An-Nadzir, sebagian diantara mereka, ada yang mengenakan cadar dan jubah sedangkan yang lainnya, terlihat hanya mengenakan mukenah seperti yang dipakai orang-orang muslim pada umumnya.
Menurut salah satu pimpinan jamaah ini mengatakan bahwa “Kami konsisten menjalankan ajaran Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW,” ujarnya. Dalam khutbahnya, ustadz Lukman mengatakan bahwa Islam tidak mempunyai kekuatan dan daya tapi dia bisa memiliki itu bila bersatu padu.
Dia juga menambahkan, Islam bukan sekedar agama, tetapi suatu tatanan hidup bagi kaum yang ingin hidup dengan selamat.

Dengan mengenakan jubah warna hitam, para jamaah An Nadzir tampak khusyuk mengikuti salat.
Dalam melaksanakan salat Idul Fitri, mereka mengaku mempunyai dasar dalam menentukan waktu salat Ied ini. Mereka mendasarkan perhitungannya pada bulan yang terbit (Syawal) juga ditunjang faktor alam lainnya seperti hujan dan guntur
Dalam sholat Ied ini, anak-anak berumur 10 tahun ke bawah yang juga mengenakan jubah dan sorban terlihat dipisah dalam satu barisan tersendiri.
Jamaah An Nadzir juga memiliki penampilan fisik yang berbeda dengan banyak umat muslim lainnya. Mereka mengecat ramburtnya dengan warna pirang, merah dan keemasan serta berpeci lancip
Para kaum wanita jamaah An Nadzir mengenakan jubah hitam dengan cadar menutupi wajah. Sekitar 90 kepala keluarga anggota jamaah An Nadzir mendiami Kelurahan Buttadidia denngan rumah terbuat dari anyaman bambu dan atap berasal dari rumbai-rumbai
Lebih Dekat dengan Jamaah An Nadzir-Sulsel
Tinggal di Tepi Danau, Pilih Rambut Pirang dan Jubah Hitam Sudah delapan tahun jamaah An Nadzir membangun permukiman di tempat terpencil, tepi Danau Mawang, Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka memilih menetap jauh dari keramaian dengan harapan bisa lebih khusyuk beribadah.
MESKI hanya 20 kilometer dari Kota Makassar, jalan menuju ke Danau Mawang, tempat permukiman itu, masih jelek. Lokasinya yang terpencil mengakibatan harian Fajar (Jawa Pos Group) harus bertanya beberapa kali. Akibatnya, setelah sekitar sejam mencari baru sampai ke tujuan.
Nama An Nadzir berarti pemberi peringatan. Sekilas perilaku mereka memang unik, termasuk gaya berbusana. Tapi, jamaahnya menolak dikatakan ikut aliran atau komunitas eksklusif. Seperti umat muslim yang lain, mereka mengaku sangat konsisten dalam menjalankan Alquran dan Al Hadis.
Jamaah An Nadzir untuk wilayah Sulsel tersebar di Makassar, Kabupaten Maros, Kota Palopo, dan Kabupaten Gowa. Selain itu, juga terdapat di Medan (Sumut), Jakarta, dan sebagian kecil di luar negeri. Khusus Gowa, jamaahnya ada 100 kepala keluarga (KK) dengan rata-rata setiap rumah dihuni lima orang. Sehingga keseluruhan jemaah An Nadzir di daerah ini sekitar 500 orang.
Seperti kebanyakan umat Islam, jamaah An Nadzir mengisi Ramadan dengan berbagai kegiatan, kecuali salat tarawih berjamaah. Alasannya, hal ini sesuai dengan tuntunan Rasul. “Salat tarawih ditiadakan untuk menghindari jadi wajib,” jelas Ustad Rangka, pimpinan An Nadzir Gowa, saat ditemui di kediamannya yang sederhana di tepi Danau Mawang.
Menurut Ustad Rangka, pada zamannya Nabi Muhammad memang pernah melaksanakan salat tarawih pada malam 23, 25, dan 27. Namun, setelah itu tidak dilaksanakan lagi. “Ketika para sahabat Nabi bertanya, Rasulullah menjawab itu dilakukan karena takut nanti salat tarawih menjadi kewajiban,” katanya.
Menurut Ustad Rangka, para jamaah berbuka puasa dengan patokan alam. Yakni, ketika tergelincirnya matahari. “Saya tidak mengacu pada jam berapa atau pukul berapa. Meski begitu, kami juga tak menafikan jam karena sangat membantu,” paparnya.
Untuk pelaksanaan salat Isya, lanjut Ustad Rangka, juga mengikuti kebiasaan Nabi, yakni di dua pertiga malam. ” Sekitar pukul 03.00 Wita, karena memang tidak memberatkan bagi kami. Selanjutnya melaksanakan sahur sesuai petunjuk yang ada. Intinya memperlambat sahur mempercepat buka puasa sesuai perintah Rasullullah,” katanya. Pada malam hari Ramadan ini juga ada jamaahnya yang tafakur di alam terbuka.
Meski menetap di lokasi terpencil, jamaah An Nadzir tetap berinteraksi dengan masyarakat sekitar Kelurahan Mawang, Kecamatan Somba Opu. Untuk mencari nafkah, jamaah An Nadzir berkebun dan bertani. Mereka menggarap lahan seluas dua hektare yang ditanami cabai kecil dan adi.
Ustad Rangka mengakui, dia dan jamaah An Nadzir mengenakan jubah hitam, sorban, dan rambut yang dibuat pirang ini untuk menjalankan sunah Rasul. “Kami di sini tak mengembangkan ajaran sesat,” katanya.
Menurut Ustad Rangka, An Nadzir bukanlah komunitas atau aliran serta bukan pula Syiah atau Sunni. “Kami adalah Ahlul Bait. Ahlul Bait di sini berarti menjalankan Alquran dan hadis secara konsisten,” katanya.
Salah seorang jamaah An Nadzir, Iwan, mengaku memutuskan berhenti bekerja di sebuah perusahaan swasta di Palopo. Pada 2006 dia memilih hijrah ke Gowa bersama keluarga demi proyek keyakinan itu. “Saya memilih masuk An Nadzir semata untuk menegakkan kebenaran itu,” ujarnya.
Tiadakan Tarawih, Berbuka Setelah Salat Magrib
Jemaah An Nadzir, bahkan mengaku sangat konsisten dalam menjalankan Alquran dan hadis. Jemaah ini tersebar di Makassar, Maros, Palopo, dan Kabupaten Gowa.
Khusus di Gowa, jemaahnya sebanyak 100 kepala keluarga (KK) dengan rata-rata setiap rumah dihuni lima orang. Sehingga, keseluruhan jemaah An Nadzir di daerah ini sekitar 500 orang.
Pada Ramadhan tahun ini, jemaah An Nadzir mengaku melaksanakan ibadah berdasarkan sunah Rasul. Karena itu, mereka tidak melaksanakan salat tarawih seperti kebanyakan umat muslim lainnya.
Shalat tarawih ditiadakan dengan argumen menghindari jemaahnya menjadikannya sebagai sesuatu kewajiban.
“Seperti umumnya umat muslim, kami juga memiliki banyak kegiatan keagamaan di bulan Ramadhan ini. Hanya saja, salat tarawih ditiadakan karena menghindari jadi wajib,” tandas pimpinan An Nadzir Gowa, Ustaz Rangka, saat ditemui di kediamannya yang sederhana di tepi Danau Mawang.
Alasan Rangka tak melaksanakan salat tarawih bersama jemaahnya, lantaran mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada zamannya, kata dia, Rasulullah memang pernah melaksanakan salat tarawih pada malam 23, 25, dan 27.
Setelah itu, Rasulullah berhenti selama-lamanya. “Nah, ketika itu para sahabat nabi bertanya, kenapa berhenti. Lalu, Rasulullah menjawab, itu dilakukan semata karena takut nanti salat tarawih kemudian dijadikan kewajiban.
Kenyataan yang terjadi sekarang ini, seakan-akan tarawih di bulan Ramadan itu menjadi sesuatu yang wajib dilaksanakan. Makanya, kami putuskan tak melaksanakan tarawih sejak hari pertama Ramadan sampai sekarang ini,” jelas Rangka.
Rangka menambahkan, mereka cukup berpuasa saja dan melakukan buka puasa sesuai waktu yang diyakini pada malam hari. Untuk menguatkan pendapatnya itu, Rangka merujuk pada surah Al Baqarah ayat 187.
“Makanya, kami rata-rata salat magrib dulu baru berbuka puasa, yang waktunya pada waktu malam ketika tergelincirnya matahari.
Saya tidak mengacu pada jam berapa atau pukul berapa. Meski begitu, kami juga tak menafikan yang namanya jam itu karena sangat membantu,” paparnya.
Adapun pelaksanaan salat isya, lanjut Rangka, juga mengikuti kebiasaan nabi di mana suatu ketika melakukan salat isya di dua pertiga malam. Ketika itu, dikisahkan Rangka, Aisyah meraba kaki Rasulullah lalu bertanya, “Ya Rasulullah, Engkau melaksanakan salat apa?”
Rasulullah lalu menjawab, ”Sekiranya tidak memberatkan umatku maka inilah waktu (dua pertiga malam, Red) yang paling tepat melaksanakan salat isya.”
“Itu pula yang kami lakukan di sini. Rata-rata melaksanakan salat isya pada pukul 03.00 Wita, karena memang tidaklah memberatkan bagi kami. Selanjutnya melaksanakan sahur sesuai petunjuk yang ada.
Intinya, memperlambat sahur mempercepat buka puasa sesuai perintah Rasulullah. Kami makan dan minum sesuai petunjuk Alquran,” kilah Rangka sembari menyebutkan, di malam hari pada bulan Ramadhan ini ada juga jemaah yang tafakur di alam terbuka.
Soal pelaksanaan salat isya itu, Rangka lalu menyebutkan tercantum pada Surah Huud ayat 114 yang berbunyi ”Dirikanlah salat pada kedua tepi siang (pagi dan petang), dan pada bagian permulaan malam”. Serta Surah Al Israa ayat 78, “Dirikanlah salat sesudah matahari tergelincir (lohor dan asar) sampai gelap malam (magrib dan isya), serta salat subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan malaikat”.
Dominan Berkebun Aktivitas sehari-hari jemaah An Nadzir adalah berkebun dan menambak ikan. “Di waktu pagi hingga sore hari, kami memang lebih banyak berkebun dan memelihara ikan mas yang ada di tambak atau kolam dekat permukiman,” kata Rangka, yang mengaku sudah 22 tahun menetap di tepi Danau Mawang.
Jemaah An Nadzir sendiri cukup terbuka bagi siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh tentang majelis itu. Tapi, jangan coba-coba untuk menyinggung perasaan jemaahnya.
“Kalau itu dilakukan, maka pasti akan dilempar ke tambak atau kolam ikan yang ada di permukiman jemaah An Nadzir. Sudah banyak yang merasakannya karena mencibir keberadaan An Nadzir,” ungkap Arifin Idris Dg Ngiri, warga di sekitar permukiman An Nadzir. (*/bersambung)
Paling Cepat Gelar Salat Idulfitri
PADA bulan Ramadan ini, jemaah An Nadzir melakukan aktivitasnya di siang hari hingga sore. Mereka menggarap sebuah lahan seluas dua hektare yang disiapkan untuk ditanami cabai kecil mulai awal November mendatang.
Selain itu, mereka juga bercocok tanam padi.
Bahkan, baru-baru ini, jemaah An Nadzir memanen padi yang digarapnya. Satu hektare sawah yang digarap mampu menghasilkan berkarung-karung gabah. “Untuk perkebunan, kami punya lahan sendiri. Sedangkan areal persawahan yang digarap, secara keseluruhan luasnya hampir tujuh hektare. Saat ini, kami memanennya,” jelas Pimpinan An Nadzir Gowa, Ustaz Rangka, saat ditemui Rabu malam lalu, di kediamannya.
Sekadar informasi, Rangka disebut-sebut yang memiliki lahan pertanian itu. Namun, lahannya tersebut diolah bersama-sama dengan para jemaahnya. Nah, hasilnya itu kemudian dibagi bersama jemaahnya untuk kelangsungan hidup mereka.
Rangka mengaku, dia bersama jemaahnya, hanya semata-mata menjalankan sunah Rasul. Mereka juga memilih hidup secara sederhana. “Kami di sini tidak mengembangkan ajaran sesat. Kami justru menegakkan kebenaran yang dibawa Syech Muhammad Al Mahdi Abdullah. Nah, yang mengajari saya dan para jemaah An Nadzir masuk ke lokasi ini (tepi Danau Mawang, red) adalah Al Mahdi Abdullah, imam akhir zaman yang kita tunggu-tunggu selama ini,” ungkapnya.
Rangka menambahkan, ia sebenarnya pernah bergabung dengan Muhammadiyah sebelum memutuskan masuk majelis An Nadzir. “Kebenaran itu akan muncul. Nah, Imam Mahdi sendiri juga akan muncul di belahan timur,” katanya.
Menyinggung tentang belahan timur, kata dia, Kabupaten Gowa berada persis di belahan timur.
Atas dasar itu, Rangka mengaku memilih sebuah lokasi terpencil di Gowa untuk memulai perjalanan menegakkan kebenaran itu.
Secara tegas, Rangka berkali-kali mengatakan bahwa ia dan jemaahnya tak mengembangkan ajaran sesat. Mereka, kata Rangka, hanya menjalankan ajaran yang dibawa Syech Muhammad Al Mahdi Abdullah, yang dijadikan imamnya.
“Untuk apa saya meninggalkan keramaian di luar sana dan masuk ke tempat terpencil kalau hanya mengembangkan ajaran sesat. Sekalipun beberapa rekan saya di Muhammadiyah menghujat dan mencibir saya, tapi saya hanya tersenyum,” akunya.
Perlu diluruskan, lanjutnya, An Nadzir bukanlah komunitas atau aliran, bukan pula Syiah atau Sunni. “Kami adalah Ahlul Bait. Ahlul Bait di sini berarti menjalankan Alquran dan hadis secara konsisten. Sudah jelas, An Nadzir itu sebuah majelis (perjalanan),” paparnya.

Senin, 29 Oktober 2007

PENGAJIAN AN NADZIR DILECEHKAN MAJALAH SABILI

PELECEHAN TERHADAP AN NADZIR OLEH REDAKSI MAJALAH SABILI

Majalah sabili edisi november 2007 menulis bahwa pengjian an nadzir solat jum"at nya berbeda contoh sholat jum'at dulu hotbah. padahal jema'ah an nadzir tidak pernah melakukan hal seperti itu. sholat jum'at an nadzir tak ubah nya seperti orang umum. dan banyak lagi yang hal yang ditulis majalah sabili yang melecehkan pengajian an nadzir.

Kalau ditinjau dari tulisan dimajalah sabili sepertinya majalah sabili tidak pernah meninjau kelapangan atau mewawancarai para jama'ah an nadzir.tetapi hanya melihat berita dari anteve dan koneksi nya.
Berita yang ditulis majalah sabili sangat berbahaya karna bisa membuat masyarakat menjadi beranggapan salah kepada pengajian an nadzir
sebaik nya majalah sabili segera menarik majalah edisi november 2007 itu dan segera minta ma'af kepada pengajian an nadzir sebelum menjadi polemik baru.

(ttd. anak dari alm Abah syamsuri)

KH. Syasuri bin Abdul Madjid Meninggal Dunia


KH. Syasuri bin Abdul Madjid Meninggal Dunia

Sakit Gula, “Kahar Muzakkar” Meninggal Dunia
Sabtu, 12 Agustus 2006, 14:53:55 WIB

Jakarta, Rakyat Merdeka. Tanpa diketahui banyak orang, Syamsuri Abdul Madjid alias Syekh Imam Muhammad Al Mahdi Abdullah telah meninggal dunia. Dia menghembuskan nafas terakhir di usia ke-83 tahun pada hari Sabtu lalu (5/8).
Syamsuri wafat dalam perjalanan menuju RS Persahabatan, Jakarta Timur, sekitar pukul 20.45 WIB. Imam Besar Majelis An Nadzir itu dimakamkan di Pondok Pesantren An Nadzir, Dumai, yang dipimpinnya.
Siapa Syamsuri? Sebagian orang percaya dia adalah Kahar Muzakkar, tokoh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang memberontak pada kurun 1950-1965 di selatan dan tenggara Sulawesi
selain Kahar, pemberontakan lain yang cukup memusingkan pemerintahan Sukarno ketika itu adalah pemberontrakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesiaatau biasa disingkat DI/TII yang dipimpin RM Kartosoewirjo di Jawa Barat.
Dalam sejarah resmi disebutkan bahwa Kartosoewirjo lebih dahulu dilumpuhkan TNI. Pasukan Siliwangi menangkap Kartosoewirjo tanggal 4 Januari 1962. Dan dalam buku The Second Front: Inside Asia’s Most Dangerous Terrorist Network, Ken Conboy mengatakan Kartosoewirjo dieksekusi di sebuah lokasi di Ancol, Jakarta Utara, saat hari masih gelap.
Bagaimana dengan kematian Kahar? Dalam situs resmi Pusrah TNI disebutkan bahwa Kahar Muzakkar tewas tanggal 3 Februari 1965. Dia ditembak mati Kopral Dua Sadeh, anggota Batalyon Kujang 330/Siliwangi, di tepi Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara.
Kembali ke Syamsuri. Redakasi Situs Berita Rakyat Merdeka memperoleh kabar kematian Syamsuri dari salah seorang pengikutnya, Hamzah. Menurut Hamzah, Syamsuri meninggal dunia karena komplikasi sejumlah penyakit.
Dan yang paling parah, sebut Hamzah, adalah penyakit gula yang diderita Syamsuri. Beberapa saat menjelang wafat, indikator kadar gula dalam darah yang selalu dibawa Syamsuri kemanapun dia pergi tak dapat lagi membaca kadar gula darahnya yang amat tinggi.
Tetapi, benarkah Syamsuri adalah Kahar Muzakkar? Bukankah Kahar Muzakkar telah mati 41 tahun lalu?

Melihat Cara Jemaah An Nadzir Beribadah di Bulan Ramadhan

Melihat Cara Jemaah An Nadzir Beribadah di Bulan Ramadhan Dikutip Dari http://Fajar.co.id/
Tiadakan Tarawih, Berbuka Setelah Salat Magrib.
DI KABUPATEN Gowa, terdapat sebuah majelis yang bernama An Nadzir. Kelompok yang punya ciri khas rambut pirang ini, bahkan sudah ada di daerah bersejarah itu sejak 1998 silam. Menariknya, mereka fokus melaksanakan ibadah di sebuah tempat terpencil, tepatnya di tepi Danau Mawang, Kecamatan Somba Opu.JEMAAH An Nadzir, memilih menetap jauh dari permukiman padat penduduk. Alasannya sederhana; supaya lebih khusyuk melaksanakan ibadah setiap harinya.
Untuk menjangkau permukiman jemaah ini, memang perlu banyak bertanya kepada sejumlah penduduk. Itu tadi, lokasinya yang cukup terpencil dengan jarak tempuh sekitar 20 kilometer dari Makassar.

Apalagi, kondisi jalanan tidak representatif. Fajar yang mengunjungi permukiman An Nadzir, Rabu, 26 September malam lalu, setidaknya membutuhkan waktu
kurang lebih satu jam lebih. Tentu saja, dengan bantuan warga di sekitar lokasi
tersebut.

Lalu, bagaimana kegiatan kelompok ini? Sekadar tahu, An Nadzir berarti pemberi
peringatan. Dengan dasar itu, jemaahnya pun secara tegas menolak jika dituding sebagai aliran tertentu dan atau ikut pada sebuah aliran. Mereka mengaku, masuk di sebuah majelis (perjalanan, Red).

Jemaah An Nadzir, bahkan mengaku sangat konsisten dalam menjalankan Alquran
dan hadis. Jemaah ini tersebar di Makassar, Maros, Palopo, dan Kabupaten Gowa.

Khusus di Gowa, jemaahnya sebanyak 100 kepala keluarga (KK) dengan
rata-rata setiap rumah dihuni lima orang. Sehingga, keseluruhan jemaah An Nadzir di daerah ini sekitar 500 orang.
Pada Ramadhan tahun ini, jemaah An Nadzir mengaku melaksanakan ibadah
berdasarkan sunah Rasul. Karena itu, mereka tidak melaksanakan salat tarawih seperti kebanyakan umat muslim lainnya. tetapi mereka melaksanakan sholat sunat sendiri sendiri sem semampu mereka masing masing pada malam hari, bahkan ada yang sampai 400 rakaat raka'at.ada juga yang berzikir dan membaca kurkan semalaman.

Shalat tarawih ditiadakan dengan argumen menghindari jemaahnya menjadikannya sebagai sesuatu kewajiban.
“Seperti umumnya umat muslim, kami juga memiliki banyak kegiatan keagamaan di bulan Ramadhan ini. Hanya saja, salat tarawih ditiadakan karena menghindari jadi wajib,” tandas pimpinan An Nadzir Gowa, Ustaz Rangka, saat ditemui di kediamannya yang sederhana di tepi Danau Mawang.

Alasan Rangka tak melaksanakan salat tarawih bersama jemaahnya, lantaran mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada zamannya, kata dia, Rasulullah memang pernah melaksanakan salat tarawih pada malam 23, 25, dan 27.

Setelah itu, Rasulullah berhenti selama-lamanya. “Nah, ketika itu para sahabat nabi bertanya, kenapa berhenti. Lalu, Rasulullah menjawab, itu dilakukan semata karena takut nanti salat tarawih kemudian dijadikan kewajiban.

Kenyataan yang terjadi sekarang ini, seakan-akan tarawih di bulan Ramadan itu menjadi sesuatu yang wajib dilaksanakan. Makanya, kami putuskan tak melaksanakan tarawih sejak hari pertama Ramadan sampai sekarang ini,” jelas Rangka.

Rangka menambahkan, mereka cukup berpuasa saja dan melakukan buka puasa sesuai waktu yang diyakini pada malam hari. Untuk menguatkan pendapatnya itu, Rangka merujuk pada surah Al Baqarah ayat 187.

“Makanya, kami rata-rata salat magrib dulu baru berbuka puasa, yang waktunya pada waktu malam ketika tergelincirnya matahari.

Saya tidak mengacu pada jam berapa atau pukul berapa. Meski begitu, kami juga tak
menafikan yang namanya jam itu karena sangat membantu,” paparnya.

Adapun pelaksanaan salat isya, lanjut Rangka, juga mengikuti kebiasaan nabi
di mana suatu ketika melakukan salat isya di dua pertiga malam. Ketika itu, dikisahkan Rangka, Aisyah meraba kaki Rasulullah lalu bertanya, “Ya Rasulullah, Engkau
melaksanakan salat apa?”

Rasulullah lalu menjawab, ”Sekiranya tidak memberatkan umatku maka inilah waktu (dua pertiga malam, Red) yang paling tepat melaksanakan salat isya.”

“Itu pula yang kami lakukan di sini. Rata-rata melaksanakan salat isya pada pukul 03.00 Wita, karena memang tidaklah memberatkan bagi kami. Selanjutnya melaksanakan sahur sesuai petunjuk yang ada.

Intinya, memperlambat sahur mempercepat buka puasa sesuai perintah Rasulullah. Kami makan dan minum sesuai petunjuk Alquran,” kilah Rangka sembari menyebutkan, di malam hari pada bulan Ramadhan ini ada juga jemaah yang tafakur di alam terbuka.
Soal pelaksanaan salat isya itu, Rangka lalu menyebutkan tercantum pada Surah Huud ayat 114 yang berbunyi ”Dirikanlah salat pada kedua tepi siang (pagi dan petang), dan pada bagian permulaan malam”. Serta Surah Al Israa ayat 78, “Dirikanlah salat sesudah matahari tergelincir (lohor dan asar) sampai gelap malam (magrib dan isya), serta salat subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan malaikat”.

Dominan Berkebun Aktivitas sehari-hari jemaah An Nadzir adalah berkebun dan menambak ikan. “Di waktu pagi hingga sore hari, kami memang lebih banyak berkebun dan memelihara ikan mas yang ada di tambak atau kolam dekat permukiman,” kata Rangka, yang mengaku sudah 22 tahun menetap di tepi Danau Mawang.

Jemaah An Nadzir sendiri cukup terbuka bagi siapa saja yang ingin mengetahui
lebih jauh tentang majelis itu. Tapi, jangan coba-coba untuk menyinggung perasaan
jemaahnya.
“Kalau itu dilakukan, maka pasti akan dilempar ke tambak atau kolam ikan yang ada di permukiman jemaah An Nadzir. Sudah banyak yang merasakannya karena mencibir keberadaan An Nadzir,” ungkap Arifin Idris Dg Ngiri, warga di sekitar permukiman An Nadzir.

KH Hasyim Muzadi: PBNU Tunggu Sidang Isbat

KH Hasyim Muzadi: PBNU Tunggu Sidang Isbat
Jakarta, 11/10 (Pinmas) - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi menyatakan bahwa pihaknya akan tetap menunggu hasil sidang isbat bersama yang dilaksanakan nanti malam untuk menentukan 1 Syawal. "Lebaran bisa besok pagi bisa lusa, tergantung dari hasil sidang isbat nanti malam. NU tetap memegang teguh hal tersebut. Jika memang nanti malam hilal sudah tampak dan diputuskan sidang isbath ya kita akan lebaran besok. Namun kalau tidak ya, kita harus menunggu 1 hari lagi," jelas Hasyim, Kamis (11/10/2007).
Hasyim mengimbau kepada para nahdliyin untuk tidak menjadi resah apabila terjadi perbedaan hari pelaksanaan lebaran. Menurut dia, semua komponen Ormas Islam di dalam negeri sama-sama ingin menjalankan syariah Islam, namun hanya metodenya yang berbeda.

Untuk itu, kata dia, jangan hanya karena metode padahal tujuannya sama, akhirnya menimbulkan perpecahan. Termasuk terhadap Jamaah An Nadzir di Sulsel yang pagi ini sudah melaksanakan salat Id, menurut dia merupakan bentuk perbedaan dari banyaknya Ormas Islam di dalam negeri.

"Mestinya memang sebagai penengah dan pengambil keputusan terakhir tetap pemerintah, sementara Ormas mengajukan tanggal. Karena di seluruh penjuru dunia seperti itu. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita semua tetap bisa bersatu dan tidak menjadi perpecahan hanya karena perbedaan hari lebaran saja," imbaunya.
Sementara itu, juru bicara Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ki Ageng Fatah Wibisono, menyatakan bahwa pihaknya tetap tidak akan mengubah keputusan.

Sesuai dengan fatwa Muhammadiyah yang telah dikeluarkan beberapa waktu lalu, lebaran tetap dilaksanakan pada esok hari (12/10). Meski demikian, pihaknya mengharapkan semua pihak untuk tetap bisa saling menghargai.

Paling tidak, kata dia, pemberian ucapan selamat hari raya merupakan salah satu bentuk ungkapan untuk menghargai perbedaan. "Jika Pak Menteri Agama bersedia mengirimkan surat ucapan selamat lebaran, hal itu merupakan sebuah contoh yang bagus tentang toleransi dan menghargai perbedaan,"

0 komentar:

Posting Komentar

 
hanakimi © 2011 | Designed by Chica Blogger, in collaboration with Uncharted 3, MW3 Forum and Angry Birds Online